Saturday, March 28, 2009

Reportase Singkat: Psikiater Disaster di Tragedi Tsunami Kecil Situ Gintung Ciputat Tangerang Selatan Banten – Air Bah yang Menerjang Pemukiman Warga

Saya diberangkatkan kemarin oleh Fakultas Kedokteran & Ilmu Kesehatan (FKIK) UIN Syarif Hidayatullah Ciputat Tangerang Selatan Banten untuk bertugas membangun posko kesehatan Bencana ”Air Bah Danau Situ Gintung.” Sungguh suatu pengalaman yang luar biasa sekali di lapangan. Amanat ini seakan mengingatkan kembali memori-memori tugas masa lalu yang pernah saya emban sebagai tim relawan kesehatan untuk Bencana Tsunami di Meulaboh Aceh Barat dan Gempa Jogja Bantul Yogyakarta. Kejadian bencana yang terjadi di Ciputat Tangerang Selatan Propinsi Banten ini kalaulah dapat di ibaratkan laksana sebuah Tragedi Tsunami Kecil di daerah pemukiman padat penduduk.
Tragedi tersebut terjadi akibat runtuhnya tanggul penahan Danau Situ Gintung yang kemudian mengakibatkan aliran deras air dari danau menghantam dan menerjang tumpah ke area pemukiman padat penduduk di sekitar danau. Danau Situ Gintung sendiri dibuat pada sekitar medio tahun 1930-an di masa zaman penjajahan Kolonial Belanda dengan menyertai pembangunan sebuah penahan tanggul danau. Pada hari Jum’at kemarin sekitar jam 3 pagi di saat warga sedang tertidur lelap, tanggul kuno buatan kolonial belanda tersebut runtuh dan mengakibatkan air tampungan danau kemudian tumpah menimpa ratusan rumah warga sekitar.
Sebenarnya Danau Situ Gintung ini merupakan salah satu obyek wisata yang sangat digemari oleh masyarakat seputaran tangerang Selatan karena memang pemandangannya yang terbilang eksotik untuk tujuan rekreasi keluarga. Kini akibat runtuhnya tanggul, air danau yang dulunya terlihat tenang dan menjadi tempat pembudi dayaan model keramba perikananan warga menjadi kering sampai ke dasar danau. Sejauh mata memandang dari belakang kampus FKIK UIN Syarif Hidayatullah, tak tampak lagi suatu danau yang asri, indah nan elok. Kini yang terlihat hanyalah gambaran sebuah danau tanpa air yang menyisakan berkubik lembaran lumpur coklat pekat sisa sediman danau.
Sebelum kejadian rubuhnya tanggul tersebut, hujan deras dengan intensitas tinggi disertai dengan bongkahan es kecil-kecil terjadi sampai sore hari. Menurut informasi warga sekitar hulu tanggul, mereka memang sempat merasakan kalau tanah di pemukiman mereka mulai terasa ada getaran pergerakan, tetapi mereka tidak menyadari bahwa hal tersebut sebenarnya berupa semacam tanda peringatan bahwasannya tanggul kuno tersebut akan runtuh akibat gerusan air dari debit kuata tampungan air yang sudah overload (berlebih) dari tampungan air hujan yang memang cukup besar volumenya. Tanpa adanya sirene kesiagaan, akhirnya air bah pun menimpa pemukiman dan warga seputaran hilir malah tak sempat menyelamatkan diri. Korban meninggal yang sempat dilaporkan berjumlah 53 orang. Tetapi diperkirakan masih banyak korban hilang yang belum diketemukan mengingat medan yang berat di lapangan untuk pencarian yang dilakukan tim sar. Di tambah lagi, menjelang sore, hujan kembali menguyur dengan derasnya. Pencarian korban, sepertinya akan kembali dilakukan pada sabtu pagi ini.
Sebagai praktisi kesehatan, saya bertugas sebagai koordinator lapangan dari posko kesehatan UIN peduli. Posko kami berdiri pas bersebelahan dengan posko yang didirikan oleh perusahaan PLN. Berdasarkan tinjauan ke lapangan, saya berkesampatan terjun melihat langsung proses evakuasi tim sar terhadap korban yang tenggelam dan menyisir reportase lapangan di area-area yang paling parah terhantam terjangan air bah Danau Situ Gintung. Berdasarkan laporan pandangan mata, sungguh banyak rumah dari pemukiman warga yang atapnya hilang karena tersapu oleh derasnya muntahan air danau.
Gambaran yang tersisa tinggallah coretan-coretan dan sediman lumpur tebal coklat pekat yang melekat pada dinding dan lantai rumah para korban. Kalau bisa saya utarakan, situasi lapangan yang terjadi paska bencana air bah situ gintung ini mirip sekali dengan pemandangan yang pernah dapatkan di Kota Banda Aceh dan Meulaboh Aceh barat ketika bertugas Paska Bencana Tsunami beberapa tahun lalu. Pemandangan rumah-rumah yang hancur berantakan dengan lumpur pekat di mana-mana. Sungguh suatu mukzijat, dua buah masjid yang juga terkena limpahan air bah situ gintung tersebut masih kokoh dan tetap berdiri tegak dibandingkan beberapa rumah sekitarnya yang hanya tinggallah kerangka dan puing-puing reruntuhan pondasi. Bahkan salah satu masjid yang selamat, kalau terlihat memang posisi pas berada di bibir samping tempat rubuhnya tanggul penahan. Kini masjid tersebut digunakan sebagai posko pengungsian sementara korban.
Sebagian besar pengungsi lainnya masih ditampung di kampus STIE Ahmad Dahlan dan Fakultas Hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta Ciputat yang merupakan posko utama bencana dan pusat pengungsian warga sekitar.Kampus tersebut memang berada tepat di samping pemukiman yang menjadi kubangan sisa air danau yang sekarang masih tergenang. Laporan lain yang dapat disampaikan adalah kami juga sempat melihat sebuah mobil kijang berwarna hitam yang posisinya kini terdampar di bantaran bukit pemukiman warga, sungguh sulit di cerna lewat akal pikiran bagaimana mobil yang begitu besar dan berat bisa tersangkut di bantaran pemukimana warga kalau tidak tersapu oleh pusaran air yang berasal dari aliran air bah rubuhnya tanggul penahan danau situ gintung. Menurut informasi beberapa warga, sang pengendara mobil tersebut harus dikeluarkan dengan memecahkan salah satu jendela mobil tersebut. Belum lagi beberapa kejadian lain seperti tergulingnya beberapa mini bus yang sedang diparkir di halaman kampus STIE Ahmad Dahlan karena sapuan air bah tersebut juga.
Posko UIN Peduli Bencana ini terselenggara berkat koordinasi yang solid dari berbagai jajaran program di fakultas kedokteran mulai dari kedokteran, farmasi, keperawatan, sampai kesehatan masyarakat. Posko yang di rintis kami ini bertugas sebagai penyedia dan pelayanan pengobatan gratis bagi korban yang selamat paska bencana dan kru yang bertugas sebagai relawan maupun tim sar di lapangan. Kami membangun posko kesehatan dalam masa tanggap darurat medik ini juga untuk mengelola korban-korban yang kemungkinan mengalami gejala-gejala psikologis dan psikiatrik seperti reaksi stres akut, kekhawatiran, gelisah, panik, rasa duka cita, mimpi buruk atau sulit tidur paska kejadian bencana tersebut. Berdasarkan reportase lapangan, kami menemukan ada beberapa keluarga yang bingung, khawatir dan sedih karena belum menemukan dan mengetahui bagaimana keberadaan nasib dari sanak keluarga mereka yang hilang paska bencana.
Kami juga menyediakan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti makanan (nasi bungkus) dan minuman yang memang menjadi bahan bantuan pokok yang paling vital bagi para pengungsi. Di samping menyediakan obat-obatan yang dibutuhkan bagi korban trauma fisik yang memerlukan tindakan sederhana perawatan luka atau merujuk ke rumah sakit pada kondisi-kondisi yang berat atau gawat. Pertolongan psikologis kami sediakan untuk mendeteksi gejala-gejala psikiatrik awal yang mungkin dialami oleh orang yang selamat dari paska bencana atau relawan sehingga dapat mencegah kondisi-kondisi yang lebih buruk seperti depresi, PTSD (post traumatic stress disorder) – gangguan stres paska trauma atau gangguan jiwa berat. Karena suatu peristiwa bencana merupakan salah satu stressor luar biasa (katastrofik) yang dapat menjadi pemicu atau penyebab terjadinya gangguan emosional dan psikologis pada korban atau orang yang selamat dari bencana. Sepertinya praktisi kejiwaan seperti psikolog dan psikiater disaster (bencana) memang diperlukan dalam rangka mengelola dan manajemen stres korban, pasien atau klien paska tragedi bencana di Indonesia.

1 Comments:

At 3:09 AM , Blogger andripsikosomatik said...

Kesempatan yang baik sekali dapat terjun langsung di sana. Btw Isa rajin sekali yah menulis di Blog ini. Kapan saya lihat tulisan Isa di koran, atau malah sudah? kalau ada kasih tahu saya yah karena tulisan Isa sangat baik.

 

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home